Categories
Kewirausahaan

Kemitraan Dan Build Operates Transfer (BOT)

6-Rantai pasok 

Kemitraan rantai pasok merupakan kerja sama antara UMKM dan usaha besar yang bergantung satu sama lain dalam aliran barang dan jasa, untuk mengubah bahan mentah menjadi produk dalam rangka efisiensi (Pasal 1 angka 8 PP 7/2021). Kemitraan ini meliputi pengelolaan perpindahan produk, pendistribusian produk dan pengelolaan ketersediaan bahan baku (Pasal 112 ayat (1) PP 7/2021).
Pada pola rantai pasok, terdapat 2 jenis kemitraan (Pasal 112 ayat (2) PP 7/2021):
1-Usaha besar berkedudukan sebagai penerima barang, dengan UMKM sebagai penyedia barang;
2-Usaha menengah berkedudukan sebagai penerima barang, dengan UMK sebagai penyedia barang. 

7-Bagi hasil

Dalam kemitraan bagi hasil, usaha besar membiayai UMKM yang menjalankan usaha. Selain itu, usaha menengah juga dapat membiayai UMK yang menjalankan usaha (Pasal 113 ayat (1) PP 7/2021). Pihak-pihak dalam bagi hasil ini memberi kontribusi sesuai dengan kemampuan dan sumber daya masing-masing pihak, dengan pembagian keuntungan didasarkan pada perjanjian yang disepakati (Pasal 113 ayat (2) dan (3) PP 7/2021).

8-Kerja sama

operasional Kerja sama operasional sifatnya sementara. Dalam hal ini, UMKM bekerja sama dengan usaha besar sampai dengan selesainya pekerjaan. UMK juga dapat bekerja sama dengan usaha menengah dalam pekerjaan sementara ini, sampai pekerjaan terselesaikan (Pasal 114 PP 7/2021).

9-Usaha Patungan (joint venture)

Terdapat unsur asing dalam Joint venture, diantaranya (Pasal 115 ayat (1) PP 7/2021)
1-UMKM melakukan kemitraan dengan usaha besar asing; dan
2-UMK dapat melakukan kemitraan usaha dengan usaha menengah asing. Caranya, dengan mendirikan badan usaha berbentuk perseroan terbatas sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

10-Penyumberluaran (Outsourcing)

Seperti ketentuan pada Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Cipta Kerja, outsourcing diperuntukkan pada bidang dan jenis usaha yang bukan merupakan pekerjaan pokok (Pasal 116 ayat (2) PP 7/2021). Dalam outsourcing, pola kemitraannya seperti:
1- Usaha besar sebagai pemilik pekerjaan, dengan UMKM sebagai penyedia dan pelaksana jasa pekerjaan; atau
2- Usaha menengah sebagai pemilik pekerjaan, dengan UMK sebagai penyedia dan pelaksana jasa pekerjaan.

Ketentuan kemitraan outsourcing tidak terlepas dari ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Cipta Kerja. Sebelum melakukan kerja sama kemitraan, diperlukan sebuah kesepakatan. Kesepakatan ini tertuang dalam sebuah perjanjian kemitraan. Perjanjian kemitraan UMKM dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia (Pasal 117 ayat (2) PP 7/2021). Jika salah satu pihak merupakan orang atau badan hukum asing, maka perjanjian dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing (Pasal 117 ayat (3) PP 7/2021).

Bangun-guna-serah (Build–operate–transfer), BOT.

BOT (Build Operate Transfer) sebagai bentuk perjanjian kebijakan yang diadakan
oleh pemerintah dengan pihak swasta merupakan perbuatan hukum oleh badan atau
pejabat tata usaha Negara yang menjadikan kebijakan publik sebagai objek
perjanjian. Badan-badan atau pejabat tata usaha Negara dalam melaksanakan
hubungan kontrak dengan pihak swasta selalu bertindak melalui dua macam peranan,
satu sisi bertindak selaku hukum publik (public actor) disisi lain bertindak selaku
hukum keperdataan.

Pengertian dan Dasar Hukum Build Operate and Trnasfer

Berdasarkan asas kebebasan berkontrak yang disimpulkan dari Pasal 1338
ayat (1) KUH Perdata, maka lahir perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate
and Transfer/BOT), yang dikenal sebagai perjanjian tidak bernama (onebenoemde
overeenkomst), yaitu perjajian yang tidak diatur secara khusus dalam undangundang, tetapi tumbuh dan berkembang dalam kegiatan ekonomi Indonesia.
Sebagai suatu perjanjian tidak bernama, sampai saat ini belum ada pengertian dan
pengaturan secara khusus mengenai pembangunan suatu proyek milik Pemerintah
maupun swasta yang dibiayai melalui sistem Bangun Guna Serah (Build Operate
and Transfer/BOT). Aturan yang digunakan saat ini adalah Pasal 1338 ayat (1)KUH Perdata, yang dikenal sebagai asas kebebasan berkontrak.

Jenis perjanjian BOT ini tidak dikenal atau tidak ada namanya dalam KUH
Perdata. Munculnya perjanjian BOT dilatarbelakangi adanya tuntutan kebutuhan
masyarakat, khususnya bagi para pelaku usaha yang menghendaki terjalinnya
hubungan kemitraan atau kerjasama dalam menjalankan usaha maupun
melakukan ekspansi yang dituangkan dalam suatu perjanjian tertulis dan lazimnya
agar para pihak yang berkepentingan merasa terlindungi dikemudian hari yang
dibuat dihadapan Notaris. Mengenai pengertian perjanjian BOT secara normatif
tidak diatur secara formal dalam pengaturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia. Penggunaan istilah BOT pun juga masih beragam, ada yang masih
menggunakan istilah aslinya untuk kata BOT dan ada yang sudah diterjemahkan dengan BGS (Bangun Guna Serah).

Unsur-Unsur dalam perjanjian BOT menurut Anjar Pachta Wirana, meliputi 4 (empat) unsur, yaitu:
  1. Adanya para pihak, yaitu investor yang menyediakan dana untuk
    membangun, dan pihak pemilik tanah/lahan, dan pihak pemilik
    tanah/lahan, yaitu masyarakat atau Pemerintah (Pusat dan Daerah) selaku pemegang hak eksklusif atau penguasa lahan;
  2. Adanya objek yang diperjanjikan yaitu lahan atau tanah dan bangunan yang dibangun di atas tanah/lahan tersebut;
  3. Investor diberikan hak untuk mengelola atau mengoperasikan dengan pola bagi hasil keuntungan; dan
  4. Setelah jangka waktu berakhir investor mengembalikan tanah beserta bangunan dan segala fasilitasnya kepada pemilik tanah/lahan.
Bangun guna serah barang milik negara/daerah dapat dilaksanakan dengan
persyaratan sebagai berikut :
  1. pengguna barang memerlukan bangunan dan fasilitas bagi
    penyelenggaraan pemerintahan negara/daerah untuk kepentingan
    pelayanan umum dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi;
  2. tidak tersedia dana dalam Anggaran Pendapatan dan BelanjaNegara/Daerah untuk penyediaan bangunan dan fasilitas dimaksud.
Keuntungan dan Kerugian dalam Perjanjian Build Operate and Transfer

BOT sebagai salah satu bentuk perjanjian kerjasama memiliki banyak keunggulan
namun juga kekurangan. Keunggulan dalam kerjasama BOT adalah:

  1. Dikarenakan BOT merupakan kerjasama dalam pembiayaan, maka bagi pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sebagai pemilik lahan/tanah, tidak perlu mengeluarkan biaya atau anggaran atau mencari dana pinjaman untuk membangun infrastruktur beserta dengan fasilitasnya, sehingga hal demikian dapat mengurangi beban anggaran dalam APBN/APBD.
  2. Dengan kerjasama dalam bentuk BOT meskipun pemerintah tidak memliki anggaran yang cukup, tetap dapat membangun infrastruktur beserta dengan
    fasilitasnya, sehingga kebutuhan dan kepentingan masyarakat tetap dapat terlayani, mengingat pembangunan proyek dilakukan dengan pendanaan dari pihak swasta.
  3. Dengan menerapkan sistem kerjasam BOT, pemerintah tetap dapat
    melaksanakan pembangunan infrastruktur untuk kepentingan umum di atas tanah yang dimilikinya tanpa harus mengalihkan atau melepaskan hak atas tanah tersebut kepada pihak lain, sehingga asset-asset milik negara dapat terjaga dengan baik.
  4. Dengan melalui kerjasana BOT, memberikan kesempatan atau peluang kepada pihak lain dalam hal ini swasta untuk berperan serta dalam pembangunan fasilitas.

Secara garis besar Perjanjian Build, Operate and Transfer terbagi dalam tiga tahap
yang berlangsung secara prosedural, yaitu:

Tahap Pembangunan
Pada tahap ini pihak pemilik tanah menyerahkan penggunaan tanah yang
dimiliki atau dikuasainya kepada pihak investor untuk dibangun diatasnya
suatu bangunan komersial beserta segala fasilitasnya. Sebelum dibangun
investor wajib menunjukkan gambar bangunan kepada pihak pemilik tanah
dengan disertai penjelasan secara rinci.

Tahap Operasional
Pihak investor berhak mengoperasikan bangunan komersial yang dibangun
untuk jangka waktu tertentu dengan membayar fee tertentu kepada pihak
pemilik tanah atau tanpa membayar fee. Jangka waktu pengoperasian atau
pengelolaan berkisar antara 15 sampai 30 tahun. Jika pihak investor harus
membayar fee kepada pemilik tanah, besarnya fee ditetapkan berdasarkan
prosentase dari pendapatan kotor (had bruto) tiap tahun dan ditetapkan
secara berjenjang.

Tahap Penyerahan
Pada tahap penyerahan, pihak investor wajib menyerahkan kembali tanah
dan bangunan komersial diatasnya beserta segala fasilitasnya kepada pihak pemilik tanah setelah jangka waktu operasional berakhir, dalam keadaan
dapat dan siap dioperasikan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *